2. Bidang Politik
Dampak dalam bidang politik dapat kita lihat dari dibangunnya tembok berlin di Jerman sebagai batas antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Dalam perang dunia kedua negara ini memang sudah terbagi menjadi 2, yaitu Jerman Baran yang beribukota di Bonn dan Jerman Timur yang beribukota di Berlin. Negara ini mengalami perpecahan karena adanya 2 paham yang berbeda berlaku di negara ini, yaitu liberal yang dianut jerman barat dan Komunis yang dianut jerman timut.
Dalam perjalanan pemerintahannya, Jerman barat mengalami perkembangan yang jauh lebih pesat daripada Jerman timur. Oleh sebab itu, banyak orang Jerman timur yang memutuskan untuk hijrah ke Jerman barat. Namun karena saat itu terjadi perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet, Uni soviet merasa tersinggung dengan adanya orang-orang pindah ke Jerman Barat. Kerena itu Uni soviet mendanai dan mendukung untuk membangun sebuah tembok yang berada di kota berlin yang menyebabkan terbelahnya kota itu. Selain itu di tembok ini, uni soviet juga menyiagakan tentaranya agar menembaki orang-orang yang masih berani untuk menyebrang. Kemudian tembok ini sangat dikenal orang sebagai simbol bagi perang dingin.
Dampak perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet tampak pada:
a. Bidang Politik
Amerika Serikat berusaha menjadikan negara-negara yang sedang berkembang menjadi negara demokrasi agar hak asasi manusia dapat dijamin. Bagi negara-negara yang sebelumnya kalah seperti Jerman dan Jepang berkembang pula kapitalisme selain demokrasi. Negara-negara tersebut dapat sehaluan dengan AS dan merupakan negara pengaruhnya.
Uni Soviet dengan paham sosialis-kominunis mendengungkan pembangunan negara dengan Rencana Lima Tahun. Cara tersebut dilakukan dengan ditaktor bukan liberal. Bagi negara satelit (dibawah pengaruh) Uni Soviet yang melakukan penyimpangan akan ditindak keras oleh US seperti contohnya Polandia dan Hongaria. Demi kepentingan politik, ekonomi, dan militer kedua negara adikuasa tersebut menjalankan politik pecah belah sehingga beberapa negara menjadi terpecah seperti Korea, Vietnam, dan Jerman.
Perjanjian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah negara modern. Sebabnya adalah :
1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa .
2. Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yangsuci
3. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing. Perjanjian Westphalia dapat dikatakan telah mengesahkan suatu sistem negara-bangsa karena telah mengakui bahwa empire (negara) tidak dapat lagi memaksa kesetiaan dari negara-negara bagian-nya, dan bahwa Paus tidak dapat melaksanakan kekuasaanya dimana-mana, meskipun dalam soal-soal spiritual.Perjanjian Westphalia meletakan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.
Metode yang digunakan pada Era Westphalia 1648 sampai Pecahnya Perang Dunia I
Metode yang sering di gunakan pada kedua era tersebut adalah metode “Realis”. Aktornya pada era Pasca Westphalia 1648 – Era PD I adalah Negara. Pada era ini lebih mengutamakan kekuatan militer sebagai alat memperkuat kekuasaan.
Isu yang muncul pada Era Westphalia 1648 sampai pecahnya Perang Dunia I
Isu nya lebih berfokus pada perebutan kekuasaan dan perperangan. Dimana pada Era ini, Negara-negara super power mencoba menguasai dunia dengan menjajah Negara-negara kecil. Banyak yang beranggapan era ini sebagai bagian dari kegagalan Diplomasi yang di lakukan antar Negara.
Aktor – aktor yang berperan Pada Era Westphalia 1648 sampai Era Perang Dunia I
Pada Era Westphalia 1648 aktor yang lebih dominan adalah kekuasaan Gereja (Paus) dan raja-raja yang berkuasa pada era ini. Hal ini yang memicu munculnya Perjanjian Westphalia yang telah berhasil mengesahkan suatu sistem negara karena telah mengakui bahwa suatu negara tidak dapat lagi memaksa kesetiaan dari negara-negara bagian nya dan bahwa Paus tidak dapat melaksanakan kekuasaanya dimana-mana, meskipun dalam soal-soal spiritual. Pada Era Perang Dunia I aktor yang dominan adalah sebuah Negara.
Kontribusi yang di diberikan pada Era Westphalia 1648 bagi Perkembangan Diplomasi
munculnya konsep Negara modern yang masih di gunakan sampai saat ini.
Perjanjian Westphalia telah memberikan sebuah pondasi dasar bagi konsep negara modern khususnya mengenai negara sekuler. Mengakui kedaulatan wilayah lain dan tidak lagi memaksakan kehendak wilayah lain. Perjanjian Westphalia mencoba mengkonsolidasikan aturan yang lebih jelas dan membatasi adanya kekuasaan yang berlebihan kepada penguasa. Jika dalam era modern saat ini, bisa dikatakan hamper mirip dengan sistem demokrasi. Dengan adanya Perjanjian Westphalia, batas yang mencakup kedaulatan wilayah menjadi semakin jelas. Sehingga meminimalisasi pencaplokan wilayah. Implementasinya adalah negara-negara modern saat ini memiliki batas-batas wilayah yang nyata dan jelas.
Perjanjian Westphalia telah membuat banyak perubahan dalam bentuk negara modren ini meliputi :
1. Tumbuhnya reperesentative goverment
2. Terjadi revolusi industri.
3. Perkembangan hukum internasioanal
4. Perkembangan metode-metode dan teknik diplomasi
5. Dalam bidang ekonomi antar negara bangsa terjadi saling ketergantungan.
6. Timbulnya prosedur-prosedur untuk menyelesaikan konflik secara damai
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep kekuasaan, kedaulatan pada era sebelum sampai Westphalia 1648 hingga konsep negara modern sedikit banyak telah memiliki banyak sekali perubahan dalam berbagai hal
Kontribusi yang di berikan pada Era Perang Dunia I bagi Perkembangan Diplomasi
munculnya pemikiran yang dikenal self determination yang berartikan hak sekelompok bangsa untuk memerintah dirinya sendiri dengan berdasarkan pada kedaulatan terhadap teritorial masing-masing. Yang menyebabkan Munculnya beberapa negara baru seperti Yugoslavia-Herzegovina, Serbia Montenegro, Austria, Hungaria, Czechoslovakia, Romania, Polandia merupakan dampak pengakuan self determinasi. Self determinasi memperoleh legitimasi secara politis melalui empat belas nilai-nilai Wilsonian.
Self determinasi menjadi perayaan legitimasi secara teritorial beberapa negara yang sebelumnya bahkan tidak pernah “eksis”. Sayangnya mereka tidak dibekali aparatur pemerintahan yang sempurna. Seolah-olah mereka dibentuk dalam keterdesakan dan pemetaan politik yang terkesan dipaksakan guna memecah skala kekuatan besar (Jerman dan Austria-Hungary) menjadi skala kekuatan kecil.
I. Why and How Did NATO Survive? Mengapa dan Bagaimana Apakah NATO Bertahan Hidup?
The case could be made that NATO will, in fact, not survive for long and that the issues that Kasus ini bisa dibuat bahwa NATO akan, pada kenyataannya, tidak bertahan lama dan bahwa isu-isu yang
came to a head in the new century crisis will return to undermine the alliance down the road. datang ke kepala dalam krisis abad baru akan kembali untuk melemahkan aliansi di jalan. If, Jika,
however, “survival” is defined by the will of the member states to sustain the alliance relation- Namun, "kelangsungan hidup" didefinisikan oleh kehendak negara-negara anggota untuk mempertahankan aliansi hubungan-
ship, the alliance appears to be recovering from this most recent in a long line of crises in the kapal, aliansi tampaknya akan pulih dari terbaru dalam garis panjang krisis di
relationship. hubungan.
The fact that NATO moved past this confluence of events cannot be explained in terms of the Fakta bahwa NATO bergerak melewati ini pertemuan peristiwa tidak dapat dijelaskan dalam hal
need for a response to an existential threat. kebutuhan untuk menanggapi ancaman eksistensial. Such a threat from the Soviet Union had been his- Seperti ancaman dari Uni Soviet telah-nya
tory for a decade before George W. Bush came to office, and had not been reconstituted. Tory selama satu dekade sebelum George W. Bush datang ke kantor, dan tidak telah diperbaharui. It also Hal ini juga
cannot be explained by the Bush administration's post-9/11 argument – an argument not ac- tidak dapat dijelaskan oleh post-9/11 argumen pemerintahan Bush - sebuah argumen tidak ac-
cepted by most Europeans – that the United States and its allies were at war with radical Islamic cepted oleh sebagian besar orang Eropa - bahwa Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya sedang berperang dengan Islam radikal
extremism. ekstremisme.
Even though the Bush administration carried unilateralism to new levels, the European allies had Meskipun pemerintahan Bush dilakukan unilateralisme ke tingkat baru, sekutu Eropa telah
already experienced a taste of it in the alliance-friendly Clinton administration. sudah mengalami rasa itu dalam pemerintahan Clinton aliansi-friendly. The Bush ad- Bush ad-
ministration's actions, however, on top of the Clinton experiences, convinced many Europeans tindakan pertolongan, bagaimanapun, di atas pengalaman Clinton, banyak orang Eropa yakin
that US unilateralism and hegemonic behaviour were becoming the norm in transatlantic rela- bahwa unilateralisme AS dan perilaku hegemonik yang menjadi norma dalam transatlantik relativitas
tions. tions. The suggestion by some that Bush administration behaviour was an American anomaly, Saran oleh beberapa perilaku administrasi yang Bush anomali Amerika,
was undermined by the fact that the American people re-elected George Bush for a second term. dirusak oleh kenyataan bahwa rakyat Amerika terpilih kembali George Bush untuk masa jabatan kedua.
These European perceptions increased support for building up the European Union (EU) as a Persepsi Eropa meningkat dukungan untuk membangun Uni Eropa (UE) sebagai
counterbalance to US power. penyeimbang kekuasaan AS. They fed support for the European Constitution agreed by EU Mereka makan dukungan untuk Konstitusi Eropa disetujui oleh Uni Eropa
governments in 2003. pemerintah pada tahun 2003. Such attitudes toward US behaviour also led to a “rump” meeting of Sikap seperti terhadap perilaku AS juga menyebabkan sebuah pertemuan "pantat" dari
France, Germany, Belgium and Luxembourg in April 2003 that produced agreement on estab- Perancis, Jerman, Belgia dan Luksemburg pada bulan April 2003 yang menghasilkan kesepakatan mengenai pem-
lishing a separate EU military planning cell independent of NATO, which US Ambassador to lishing sel terpisah Uni Eropa perencanaan militer independen dari NATO, yang Duta Besar AS untuk
NATO Nicholas Burns subsequently called “the most significant threat to NATO's future.” NATO Nicholas Burns selanjutnya disebut "ancaman yang paling signifikan bagi masa depan NATO."
8 8
The diplomat in question frequently makes this observation in lectures at the NATO Defense College. Para diplomat di pertanyaan yang sering membuat pengamatan ini di kuliah di College Pertahanan NATO.
Page 6 Halaman 6
6 6
In sum, what could have been seen as a reason for European states to get used to America’s Singkatnya, apa yang bisa dilihat sebagai alasan untuk negara-negara Eropa untuk mendapatkan digunakan untuk Amerika
hegemonic behaviour, started to turn into a dynamic that could have led to the end of alliance. perilaku hegemonik, mulai berubah menjadi dinamis yang dapat menyebabkan akhir dari aliansi.
Awal Kebangkitan Cina
Republika Rakyat Cina (RRC) dideklarasikan tanggal 1 Oktober 1949 oleh tokoh komunis Cina terkemuka saat itu, Mao Zedong. Kemudian, sejak Deng Xiaoping naik ke tampuk kekuasaan Cina, dilakukanlah reformasi ekonomi pada tahun 1978. Sejak itu Cina terus menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, rata-rata sebesar 10%.
Belum lagi besarnya produk domestik bruto (GDP) yang menunjukkan bahwa Cina menjadi negara terbesar ketiga setelah AS dan Jepang, serta tidak menutup kemungkinan untuk menggeser posisi Jepang menjadi nomor dua setelah AS.
Naiknya Deng Xiaoping ke tampuk kepemimpinan Cina pada 1978 membawa sejumlah perubahan besar di dalam negeri Cina. Langkah pertama yang dilakukan Deng Xiaoping adalah persiapan kerangka kekuasaan agar dapat menjalankan Empat Modernisasi:
Modernisasi ilmu pengetahuan, teknologi, industri dan pertahanan-keamanan. Langkah-langkah berani yang sudah dimulai sejak 1976 tersebut diresmikan dalam Sidang Komite Pusat Partai Komunis Cina (PKC) ke-11 pada Desember 1978. Sidang tersebut dianggap sebagai turning point yang mengawali suatu proses demistifikasi Mao (Soebagio, 1990).
Cina Pasca Reformasi 1978
Apa yang dirintis Deng sejak 1978 ternyata merupakan titik balik Cina menjadi sebuah kekuatan ekonomi global yang patut diperhitungkan. Meskipun sempat menimbulkan pertentangan di dalam negeri mengenai arah reformasi, berkat kepemimpinan Deng yang mampu mengatasi pertentangan ideologis yang terjadi, reformasi ekonomi Cina yang berkaitan dengan lima proses—yaitu desentralisasi, marketisasi, diversifikasi kepemilikan, liberalisasi dan internasionalisasi—dapat dijalankan.
Titik penting lainnya dalam melihat “perubahan” Cina ini adalah naiknya Hu Jintao menggantikan Jiang Zemin, yang berkuasa di Cina pasca Deng, pada Kongres PKC ke-16.
Secara formal, Kongres PKC ke-16 menggarisbawahi kesadaran akan Marxisme serta ide-ide Mao Zedong dan Deng Xiaoping. Pada waktu yang sama juga dibuat kebijakan xiaokang, yaitu konsep pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi.
PKC kemudian hadir dengan slogan politik yang baru, yang berusaha untuk menyediakan basis ideologi bagi perannya dan memberikan harapan kepada sejumlah kalangan yang menginginkan pertumbuhan ekonomi pasar, dukungan integrasi terhadap ekonomi dunia serta menikmati akses terhadap jaringan komunikasi global.
Pilihan pragmatis Cina ini ternyata membuahkan hasil. Hasil pembangunan ekonomi Cina terus menunjukkan angka yang mengesankan. Cina juga berhasil menunjukkan daya tahan ekonomi negaranya ketika seluruh negara terguncang akibat krisis keuangan global tahun 2008.
Selama sembilan bulan pertama tahun 2009, perekonomian Cina tumbuh sebesar 7,7%. Cina juga sukses menjalankan program stimulus ekonomi. Bahkan Robert Zoelick, Direktur Bank Dunia, mengungkapkan bahwa krisis global saat ini hanya dapat diselesaikan oleh G-2, yaitu AS dan Cina.
Sebelum dilanda krisis global, Cina telah membukukan pertumbuhan tahunan dua digit selama 2003-2007. Setelah pertumbuhannya merosot menjadi 6,1 persen pada kuartal pertama tahun 2009 (laju paling lambat dalam 20 tahun), Cina pulih pada kuartal kedua dengan tumbuh 7,9 persen dan diharapkan melebihi delapan persen untuk keseluruhan 2009. Pembalikan Cina diperkuat oleh paket stimulus senilai empat triliun yuan (586 miliar dolar AS) dan pinjaman bank dalam paruh pertama mencapai 7,4 triliun yuan (Berita2.com, 19/10/2009).
Kekuatan Semu Ekonomi Cina
Tiga puluh tahun yang lalu, Cina punya jejak kaki yang kecil sekali dalam ekonomi global dan pengaruh yang sama kecilnya di luar batas negeri itu, kecuali di beberapa negara yang mempunyai hubungan politik dan militer yang dekat dengannya.
Sekarang, Cina merupakan kekuatan ekonomi yang luar biasa; pusat industri manufaktur di dunia, penyedia dana paling terkemuka, investor utama di seantero dunia dari Afrika sampai Amerika Latin, serta sumber riset dan pengembangan utama yang semakin luas.
Pemerintah Cina berada di puncak cadangan devisa yang mencengangkan—lebih dari US$ 2 triliun. Tidak ada satu bisnis di mana pun di dunia yang tidak merasakan dampak pengaruh Cina, baik sebagai pemasok barang-barang yang murah maupun, yang lebih mengancam lagi, sebagai pesaing yang mahatangguh.
Semua ini menimbulkan pertanyaan, akankah Cina pada akhirnya bakal menggantikan Amerika Serikat sebagai hegemon dunia, peletak dan penentu arah ekonomi global?
Faktanya, kemajuan ekonomi Cina yang pesat bukan tanpa dampak. Kesenjangan terjadi di Cina antara kaya dan miskin serta antara kota dan desa yang semakin lebar.
Kesenjangan ekonomi, tingginya tingkat pengangguran, penanganan buruh migran yang buruk, tindakan kekerasan dan kebrutalan serta fitnah terhadap kaum minoritas kini menjadi isu nasional di Cina.
Pertumbuhan ekonomi Cina memang selalu di atas 10 persen sejak akhir 2005. Namun, tingkat pertumbuhan ekonomi Cina turun menjadi 9,0 persen pada kuartal ketiga 2008 akibat krisis keuangan global yang mulai terasa dampaknya di negara itu. Sejak itu, penurunan pertumbuhan ekonomi merupakan yang pertama kali terjadi.
Hal itu merupakan indikasi paling kuat bahwa ekonomi Cina juga ikut terpengaruh memburuknya ekonomi internasional saat ini. ”Di Cina, setiap pertumbuhan di bawah 10 persen merupakan sebuah sinyal bahwa ekonomi menjadi melempem,” kata Ren Xianfang, ekonom di firma konsultan Global Insight yang berbasis di Beijing.
Sampai bulan November 2008 sekitar 4,85 juta tenaga kerja dari kota-kota wilayah industri di negara Tirai Bambu itu harus kembali ke kampung halamannya. Di tempat asal para pekerja itupun tidak tersedia pekerjaan yang dapat menampung mereka. Secara keseluruhan 6,7 juta orang telah kehilangan pekerjaan. Selain itu 670 usaha kecil telah gulung tikar menjelang akhir tahun ini.
Menurut banyak kalangan di Cina, angka PHK itu jauh lebih besar karena yang tercatat hanya dari daerah perkotaan. Yang paling terkena dampak adalah tenaga kerja baru tamatan perguruan tinggi. Tingkat pengangguran sarjana sudah mencapai 12 persen. Sebanyak 1,5 juta orang tidak punya pekerjaan, ditambah 6,1 juta yang akan memasuki pasar kerja tahun depan (Antara, 21/12/2008).
Cina adalah satu-satunya negara di dunia yang jika pertumbuhannya kurang dari 8 persen dari tahun ke tahun dianggap berbahaya, karena ia bakal memicu keresahan sosial yang menunjukkan dengan gamblang kerapuhan mendasar sistem yang berlaku di Cina. Padahal sebagian besar negara lainnya di dunia cuma bisa bermimpi mengalami pertumbuhan sebesar itu. Sifat rezim politik otoriter itulah yang merupakan titik kerapuhan sistem yang berlaku di Cina.
Tentu semakin sulit bagi Cina mempertahankan laju pertumbuhan yang sudah terbiasa dialaminya pada tahun-tahun terakhir ini. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Cina saat ini terutama bersandar pada surplus perdagangan yang besar. Semua ini tidak bisa dipertahankan. Cepat atau lambat ia akan memicu konfrontasi yang serius dengan Amerika (dan Eropa). Tidak ada jalan keluar dari dilema ini. Cina harus menerima laju pertumbuhan yang lebih lamban (Dani Rodrik, Koran Tempo, 18/1/2010).
Ancaman Kebangkrutan
Akhir-akhir ini muncul beberapa pengamat yang kritis terhadap apa yang terjadi di Cina dan memanfaatkan data-data ekonomi yang lebih detail. Ini diwakili sebuah buku yang amat kontroversial, tulisan Gordon Chang, The Coming Collapse of China (2001). Buku ini menunjukkan sederetan masalah yang dihadapi Cina saat ini, yang semua ini akan mendorong keruntuhan Cina.
Yang pertama diangkat Chang adalah terjadinya suasana tidak puas terhadap rezim yang berkuasa sekarang, baik di kalangan petani maupun di kalangan buruh. Dicatatkan kasus-kasus yang tersebar di seluruh Cina, petani-petani yang marah terhadap kader-kader di desa. Sedemikian marah sehingga petani-petani itu tidak ragu-ragu untuk menyerang, memukul, bahkan membakar kantor-kantor pejabat desa. Ini terjadi hampir setiap minggu di seluruh Cina.
Ketidakpuasan serupa juga muncul di kalangan buruh yang mengalamipemutusan hubungan kerja di kota. Memang, privatisasi perusahaan milik negara masih jauh dari selesai, tetapi dari sejumlah perusahaan yang telah mengalami privatisasi, buruh-buruh benar marah dan mengadakan aksi-aksi destruktif seperti para petani.
Mereka menuduh pemerintah hanya mementingkan para kapitalis, kelompok yang semestinya dilawan Partai Komunis Cina, partai yang berkuasa kini. Demonstrasi yang disusul kerusuhan marak di hampir semua kota di seluruh Cina.
Belum lagi bila menghitung angka pengangguran, baik di desa maupun di kota. Karena itu, munculnya ketidakpuasan yang merata di seluruh Cina saat ini sungguh mudah dipahami. Meski demikian, Chang tidak hanya bersandar pada satu data ini saja untuk menunjukkan kerapuhan Cina.
Data kedua yang jauh lebih mendasar adalah fakta bahwa bank-bank Cina saat ini dalam keadaan insolvent. Ini yang amat berbahaya bagi ekonomi Cina secara keseluruhan. Ramalan Chang, entah bagaimana, entah kapan, seandainya rakyat Cina tahu keadaan ini, lalu mengadakan rush terhadap bank-bank, maka tamatlah ekonomi Cina, sekaligus politik Cina.
Persoalan dengan bank-bank di Cina (semua milik negara) adalah, bank-bank ini dikuras untuk menutup kerugian yang diderita perusahaan-perusahan milik negara yang berjumlah sekitar 300.000 di seluruh Cina. Menurut sebuah analis, lebih dari 50 persen perusahaan milik negara itu ada dalam keadaan bangkrut.
Mengingat begitu besar dampak sosial yang ditimbulkan oleh kebangkrutan perusahaan milik negara, Pemerintah Cina tidak mempunyai pilihan lebih baik selain menuangkan uang ke perusahaan-perusahaan itu, berapa pun yang diminta. Pemerintah lebih memilih "stabilitas politik" ketimbang membiarkan perusahaan itu bangkrut atau diprivatisasi.
Karena itu, pertanyaan kritis yang sering dilemparkan oleh Gordon Chang dan kawan-kawannya adalah sejauh mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini dapat dipertahankan dengan situasi perbankan yang amburadul seperti itu. Sulit untuk tetap memprediksikan bahwa ekonomi Cina akan terustumbuh dengan angka tujuh persen pertahun.
Pendapat Chang itu sejajar dengan yang dikemukakan oleh laporan WorldBank yang ditulis tahun 1997, berjudul, China 2020. Laporan yang sarat dengan angka statistik ini mula-mula menggambarkan prestasi ekonomi Cina yang luar biasa.
Misalnya, untuk melipatduakan income percapita, Cina hanya membutuhkan waktu sembilan tahun (1978-1987), sementara Inggris membutuhkan 100 tahun, Amerika Serikat 47 tahun, Jepang 34 tahun, dan Korea Selatan 11 tahun.
Namun, World Bank cepat memberi peringatan adanya enam masalah besar yang menghadang Cina saat ini, yaitu transisi yang tidak lengkap, lingkungan yang rusak, tak ada sumber pendapatan yang tetap, melebarnya jurang kaya dan miskin, tidak cukup persediaan makan, dan sengketa perdagangan dengan negara-negara lain.
Enam masalah itu sebenarnya tidak khas Cina, banyak negara sedang berkembang juga menghadapi masalah-masalah itu. Ada masalah lain yang sifatnya jangka panjang, dan ini menyangkut hal-hal yang sifatnya mendasar. Dikatakan, tahun 2020 Cina akan mengalami kekurangan tanah, modal maupun buruh terdidik. Belum lagi masalah-masalah berat yang muncul bila nanti Cina benar-benar telah terintegrasi dengan sistem perdagangan internasional di bawah WTO.
Dari bahasan yang amat singkat ini tampak, bahwa yang terjadi saat ini di Cina sebenarnya lebih kompleks dan rumit daripada yang tampak dari luar. World Bank condong mengambil pelajaran dari pengalaman Brasil dan Meksiko yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi antara tahun 1950-1980, lalu jatuh pada dekade berikutnya. Bila tidak hati-hati, Cina akan mengalami hal serupa, dan hal ini tidak akan ditolerir oleh rakyat yang selama ini selalu diberi mimpi-mimpi akan masa depan gemilang (I Wibowo, 2009).
Tak Akan Pernah Menjadi Adidaya
Menurut Adnan Khan dalam tulisannya di Khilafah.com, model pembangunan Cina menunjukkan bahwa negara manapun akan mampu untuk berkembang ke arah manapun.
Namun, suatu pembangunan pada hakikatnya adalah kemampuan untuk memiliki pandangan hidup (worldview) yang khas yang berperan sebagai fondasi semua aspek dari suatu negeri baik dari sisi ekonomi, hukum, politik luar negeri, energi, integrasi, pemerintahan dan relasi pria dan wanita.
Dengan pandangan hidup yang khas, suatu negeri akan menyelesaikan semua isu secara konsisten, terarah dan menciptakan kemajuan. Tanpa ideologi, suatu negeri mungkin akan maju, tetapi akan mendapatkan dirinya dalam suatu dilema yang tidak bisa ia selesaikan.
Dalam 5000 tahun sejarahnya, Cina tidak pernah menjadi kekuatan adidaya dan tidak pernah mempengaruhi politik internasional. Bahkan ketika Cina mengadopsi Komunisme, ia tidak mampu mengembannya lebih jauh dari batas negerinya sendiri apalagi mempengaruhi negara lain. Selama 5000 tahun, Cina lebih sering berperang dengan dirinya sendiri dan sibuk untuk menyatukan wilayah.
Kebijakan politik luar negeri Cina juga berpusat pada pembangunan ekonomi domestik dan menguasai sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhannya. Cina memang melawan strategi AS untuk mengisolasi dirinya dengan melemahkan negeri-negeri yang dirancang AS sebagai alatnya. Misalnya, Cina juga menawarkan kerjasama bilateral dengan Australia, India, Jepang dan Korea Selatan agar hubungan negeri-negeri ini dengan AS menjadi lebih kendor.
Realita ini membuat Cina terlalu fokus pada wilayah regional dan tidak memiliki ambisi untuk lebih dari itu. Hal ini akan berubah apabila Cina mengubah ambisi regionalnya menuju ambisi global. Tanpa adanya perubahan ambisi, maka Cina tidak akan menjadi kekuatan global. Dengan pandangan regional yang sempit, Cina tidak akan mampu menandingi AS.
Apa yang dilakukan Cina di Afrika sebenarnya tidak untuk menantang AS, tetapi sekadar usaha mendapatkan akses pada energi minyak, karena Cina akan semakin bergantung padanya. Di sinilah Cina menghadapi isu penting yang akan menentukan status masa depannya.
Cina juga menghadapi berbagai masalah yang memerlukan solusi. Tanpa ideologi yang jelas, Cina tidak akan mampu menyelesaikan masalahnya secara konsisten.
Secara domestik Cina memang diperintah oleh ideologi Komunisme, karena memang Cina masih dipimpin oleh sistem 1 partai (PKC).
Akan tetapi, Cina mulai beranjak ke sistem pasar bebas. Pada saat yang sama, Cina juga bersikap nasionalistik yang memancing seruan disintegrasi dari beberapa wilayah, dan AS dalam hal ini berperan dalam memberikan dukungan diam-diam secara konsisten terhadap wilayah-wilayah tersebut.
Walhasil, sampai pada satu titik Cina memutuskan apa ideologi sekaligus jatidirinya, negeri ini akan terus ditarik ulur ke arah yang berbeda-beda. Pada akhirnya, Cina tidak akan pernah mampu bangkit untuk menandingi adidaya manapun! []
PEMIKIRAN POLITIK MAO TSE-TUNG DAN DENG XIAO-PING
Cina di bawah kepemimpinan Mao dan Deng tidaklah sama. Ketika negara tersebut masih dipimpin oleh Mao Tse-tung, Cina sangat agresif terhadap negara lain di sekitarnya. Keadaan ini berubah ketika tampuk kekuasaan berada di tangan Deng Xiao-ping, yaitu perilaku politik Cina berubah menjadi lebih moderat yang ditunjukkan ketika negara tersebut mulai menjalin hubungan dengan seterunya dari blok kapitalis, seperti Amerika Serikat.
Timbul permasalahan, bagaimana perilaku politik luar negeri Cina dapat berubah dari agresif menjadi moderat, tepatnya faktor apa yang paling banyak mempegaruhi terjadinya perubahan tersebut ?
Paul Seabury dan Niccolo Machiavelli
Guna menjawab pokok permasalah tersebut di atas, maka kami mengajukan proposisi awal bahwa perubahan yang terjadi pada perilaku Cina itu banyak bergantung pada bagaimana elit politik Cina mempersepsikan kepentingan nasionalnya. Dalam konteks pemikiran atas kepentingan nasional tersebut, maka perubahan yang terjadi banyak ditentukan oleh bagaimana atau seperti apa gagasan Mao Tse-tung dan Deng Xiao-ping mengenai kepentingan nasional Cina. Dengan kata lain, kami akan menggunakan ide kepentingan nasional untuk menganalisis pandangan atau pemikiran politik dari kedua tokoh Cina tersebut.
Untuk menjelaskan apa itu kepentingan nasional, maka kami menggunakan penjelasan Paul Seabury mengenai masalah tersebut, yaitu:
* Ide kepentingan nasional mungkin mengacu pada serangkaian tujuan ideal yang seharusnya diusahakan untuk diwujudkan oleh suatu bangsa dalam tindak hubungan luar negerinya. Dengan istilah yang lebih baik, kita mungkin dapat menyebutkannya konsep kepentingan nasional yang bersifat normatif dan kewarganegaraan
* Arti kedua yang sama pentingnya mungkin dapat disebut kepentingan yang bersifat deskriptif. Dalam arti ini kepentingan nasional mungkin dapat dianggap sebagai tujuan yang ingin dicapai melalui kepemimpinannya dengan perjuangan yang gigih. Bila kita berbicara mengenai kepentingan nasional dalam arti deskriptif ini, kita keluar dari bidang metafisika ke alam nyata dapat juga dikatakan bahwa kepentingan nasional adalah apa yang dikatakan pembuat kebijakan luar negeri sebagai kepentingan nasional. Definisi ketiga dapat membuat arti kepentingan nasional agak lebih jelas.
Dengan menurut kepada pernyataan Seabury di atas, maka kepentingan nasional itu sangat identik dengan persepsi dan pendapat elit politik negara yang mempengaruhi pembuatan kebijakan di setiap negara.
Kepentingan nasional Cina dapat diidentifikasi secara lebih mudah jika kita memahami bagaimana persepsi/gagasan/ide dalam bidang politik dari Mao Tse-tung atau Deng Xiao-ping. Rumusan yang lebih mudahnya adalah, Deng atau Mao mencoba “mengeksperimentasikan” pemikiran politiknya dalam wacana kebijakan-kebijakan Cina.
Lewat bimbingan Seabury di atas, maka kita akan lebih masuk ke dalam masalah pemikiran politik itu sendiri. Perumusan kepentingan nasional Cina yang diidentikkan dengan pemikiran politik Mao atau Deng menjadi sangat berpengaruh jika terdapat ruang yang tepat untuk itu. Sistem politik Cina, dalam hal ini, sebagai pendukung utama bagi terlaksananya atau terwujudnya pemikiran politik Mao atau Deng itu sendiri. Cina adalah negara komunis yang berpola pemerintahan otoriter. Artinya, kehidupan politik keseharian sangat ditentukan oleh bagaimana elit politik yang berkuasa menginginkan suatu keadaan melalui mekanisme pemaksaan.
Mengenai hubungan antara pengaruh pemikiran politik terhadap sebuah kolektivitas politik (negara), maka Niccolo Machiavelli (1469-1527) mengatakan:
Barang siapa memiliki kekuasaan, mempunyai hukum, dan barang siapa tak mempunyai kekuasaan, jadi tidak pernah mempunyai hukum. Dengan pasukan-pasukan orang dapat menguasai orang-orang lain, sedangkan hal mendapatkan mesiu itu memungkinkan orang menaklukan kaum bangsawan dalam benteng-bentengnya. Karena itu orang dapat menciptakan suatu keadaan dalam daerah tertentu, dimana ia memerintah sebagai penguasa tunggal, yang memiliki semua alat-alat kekuasaan fisik. Kekuasaan tetap itu dinamakan Machiavelli ‘negara’ (stato)
Negara itu adanya untuk kepentingannya sendiri dan seharusnya mengejar tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingannya sendiri dengan cara yang dianggapnya paling tepat.
Kerangka pemikiran yang dianut oleh Machiavelli ini menghendaki terletaknya kekuasaan negara pada satu tangan, dalam mana kemudian kebijakan-kebijakan dan arah negara banyak ditentukan. Cina dalam perilaku politiknya banyak bergantung kepada bagaimana kepentingan (dalam hal ini ditentukan oleh pemikiran politik) dari Deng atau Mao.
Guna mempermudah pembahasan atas pokok permasalahan yang diangkat, maka kami akan membagi kajian menjadi dua bagian. Bagian pertama khusus membahas pemikiran Mao Tse-tung dan yang kedua atas Deng Xiao-ping.
Pemikiran Mao Tse-tung saat Memimpin Cina
Dalam pleno ke-10 Committee Central Partai Komunis Cina (Chung Kang Tang), Mao mengatakan, “Untuk menjatuhkan kekuatan politik, selalu mutlak perlu pertama-tama menciptakan pendapat umum (yang menguntungkan), dan menjalankan pekerjaan (persiapan) di bidang ideologi. Dari apa yang dikatakannya ini, Mao terlihat mengedepankan persoalan ideologi guna menanamkan pengaruh politiknya. Mao memang seorang pemikir politik Cina yang serba lengkap, setidaknya menurut pendapat Dick Wilson dalam bukunya Mao Tse-tung in the Scales of History yang mennyebut Mao sebagai ahli filsafat, ideolog Marxis, pemimpin politik, ahli militer, guru, ahli ekonomi, patriot, negarawan, the Chinese (orang Cina), dan pembaharu. Sebutan yang ditimpakan kepada Mao ini mengindikasikan bahwa Mao memiliki kekuatan di dalam pemikiran atau ide, yang dalam ini coba ia terapkan di dalam kehidupan bernegara Cina.
Cina di masa Mao merupakan negara komunis yang agresif dengan sistem politik yang sangat otoriter. Artinya, kebijakan-kebijakan Cina banyak lahir dengan Mao sebagai faktor penentunya. Keagresivan Cina terlihat ketika Cina selalu berusaha mengintervensi kehidupan negara lain di sekitarnya.
Contohnya adalah ketika Cina menganeksasi Mongolia dan Tibet untuk masuk ke dalam wilayahnya. Penganeksasian ini dapat dimaklumi sebagai usaha Mao untuk mewujudkan pemikirannya. Mao Tse-tung saat itu membagi dunia menjadi empat lingkaran, dalam mana pemikiran tersebut didasarkan pada konsepsi tradisional Cina, berupa:
1. Lingkaran pertama terdiri dari wilayah Cina, termasuk Tibet dan Mongolia.
2. Lingkaran kedua terdiri dari negara-negara di perbatasannya yang dahulu menjadi tributaries Cina, termasuk Korea dan Vietnam Utara.
3. Lingkaran ketiga terdiri dari Jepang, yang telah mengambil alih budaya Cina sewaktu Dinasti Tang.
4. Lingkaran keempat terdiri dari sisa dunia lainnya.
Pemikiran Mao banyak bercirikan aspek-aspek ideologis, yang berarti setiap kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Cina selalu mengacu kepada idelogi komunis yang dianutnya. Cina di masa Mao beroposisi secara radikal dengan Barat, dalam mana perilaku seperti ini banyak ditentukan oleh tesis dasar komunis yaitu anti terhadap kapitalisme.
Pemikiran Deng Xiao-ping
Pemikiran politik yang ditawarkan oleh Deng Xiao-ping justru bertolak belakang dengan pemikiran Mao. Untuk masalah ideologi, Cina di masa Deng tetap menganut komunisme, namun dalam sisi praksisnya ideologi tersebut diterjemahkan secara fleksibel. Variabel utama yang dijadikan pertimbangan oleh deng dalam menafsirkan ajaran komunis tersebut adalah kepentingan ekonomi.
Deng dalam memimpin Cina banyak menggunakan aspek-aspek realis-pragmatis, artinya keputusan banyak disandarkan pada situasi apa yang tengah berlangsung ketika keputusan tersebut dibuat.
Sejak meninggalnya Mao Tse-tung pada tanggal 9 September 1976, Cina mengalami perubahan-perubahan yang fundamental. Para pemimpin yang berkuasa di Cina menetapkan program empat modernisasi, yaitu modernisasi di bidang pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta militer sebagai landasan strategi baru.
Tetapi pelaksanaan program modernisasi ini mengalami banyak hambatan, karena infrastruktur ekonomi Cina sudah banyak ketinggalan dan Cina kini kekurangan tenaga yang terdidik dan terlatih akibat gejolak-gejolak yang timbul sehubungan dengan program Mao tahun 1958 dan revolusi kebudayaan tahun 1966-1976. Pembangunan ekonomi dijadikan oleh Deng sebagai kepentingan nasional Cina yang paling utama dan tampaknya mengatasi ideologi itu sendiri.
Hal ini tampak ketika pada tahun 1985, Deng memberlakukan Land Reform. Apa artinya? Kebijakan Deng tersebut sangat bertentangan dengan tesis awal Marxisme-Leninisme bahwa tanah seharusnya dikuasasi seluruhnya oleh negara. Dengan kata lain, Deng dapat dikatakan sebagai “pengkhianat” atas ideologi komunis itu sendiri, karena dengan pemberlakuan Land Reform tersebut, maka kepemilikan tanah dapat diberikan kepada individu-individu.
Sisi realis pragmatis Deng di lain saat terlihat ketika Cina bersedia membuka pasar pada awal 1990-an untuk kemudian menjadi anggota WTO. Prinsip-prinsip idelogi perlahan tapi pasti mulai ditinggalkan oleh Cina pada periode Deng Xiao-ping ini untuk kemudian digantikan dengan prinsip berlatarkan kepentingan ekonomi yang berdimensi pragmatis.
Post Scriptum
Pemikiran politik seorang pemimpin politik bisa sangat mempengaruhi perilaku suatu negara, dalam mana ini ditunjukkan oleh Cina melalui dua pemimpinnya, Mao Tse-tung dan deng Xiao-ping.
Cina di era Mao cenderung mengedepankan unsur-unsur revolusioner berupa sikap agresif dan cenderung anti barat. Sedangkan di masa Deng, Cina cenderung akomodatif dan berkooperatif dengan negara sekitarnya. Hal ini banyak ditentukan oleh persepsi (pemikiran politik) Denga tentang kepentingan nasional Cina itu sendiri.
Ada dua hal yang dapat ditarik dari tulisan ini, pertama, pemikiran politik seorang tokoh baru dapat berpengaruh bagi jalannya pemerintahan politik sehari-hari jika terdapat elemen pendukung bagi hal itu, yang menurut Machiavelli berupa kekuasaan mutlak dan alat kekuasaan negara. Syarat ini dimiliki oleh Cina lewat ideologi komunis yang dianutnya. Ideologi ini banyak ditafsirkan oleh penguasanya (dalam hal ini Mao dan Deng).
Kesimpulan kedua adalah, kepentingan nasional suatu negara adalah ---menurut Seabury--- apa yang dikatakan pemimpin negara mengenai kepentingan itu sendiri. Mao mengatakan bahwa kepentingan Cina adalah kepentingan ideologi dan untuk itu Cina harus “menjadi revolusioner” dan “berhadapan dengan Barat.” Sedangkan Deng merumuskan kepentingan Cina berupa pembangunan ekonomi dan oleh sebab itu maka ideologi komunis menjadi “dapat dipertimbangkan kembali” guna menyesuaikan dengan kepentingan yang Deng maksudkan.
Mantan Presiden Zambia Kenneth Kaunda dalam wawancara khusus dengan wartawan Kantor Berita Xinhua mengatakan bahwa Deng Xiaoping akan dicatat dalam sejarah sebagai salah satu pemimpin Tiongkok yang paling brilian. Reformasi dan kebijakan keterbukaannya membangun jembatan yang saling mengenal antara Tiongkok dan dunia memungkinkan publik menyadari bahwa sebuah Tiongkok yang jaya boleh memberi sumbangan yang besar kepada dunia.
Di sebuah ruang tamu yang sederhana, veteran gerakan kemerdekaan Afrika itu mengenang keadaan pergaulannya dengan pemimpin generasi tua Tiongkok Almarhum Mao Zedong, Zhou Enlai dan Deng Xiaoping sejak tahun 1960-an. Kaunda mengatakan, Mao Zedong membuat Tiongkok berdiri dari reruntuhan perang, reformasi dan kebijakan keterbukaan Deng Xiaoping memungkinkan Tiongkok menuju dunia luar sehingga umum menyaksikan sebuah Tiongkok yang jaya boleh memberi sumbangan penting demi perdamaian dan pembangunan dunia. Mereka adalah orang besar zaman, Tiongkok beruntung dengan adanya pemimpin demikian.
Kaunda mengatakan bahwa Deng Xiaoping adalah patriot yang besar, reformasi dan kebijakan keterbukaan yang dipimpinnya tidak saja mengubah Tiongkok sementara mengubah pula seluruh dunia. Ia menambahkan, kebijakan Deng Xiaoping yang mementingkan pendidikan sangat tepat dan akan mendatangkan dampak yang menjangkau jauh terhadap masa depan Tiongkok.
Kaunda sangat menghargai pandangan jauh Deng Xiaoping. Pada bulan April tahun 1980, Deng Xiaoping dalam pertemuan dengan Kaunda mengatakan, harus membebaskan pemikiran, bahkan harus membebaskan pemikiran mengenai masalah apa disebut sosialisme. Ekonomi selalu berada dalam keadaan macet dalam jangka panjang tidak boleh disebut sebagai sosialisme, kehidupan rakyat berada di taraf yang sangat rendah dalam jangka panjang tidak boleh juga disebut sebagai sosialisme.
Kaunda menilai tinggi pula persahabatan Tiongkok-Afrika.
Umum selalu dengan kata "sahabat segala cuaca" melukiskan hubungan Tiongkok-Afrika, pencipta kata tersebut justru Kaunda. Pada tahun 1967, Tiongkok sedang berada pada masa sulit ekonomi, namun untuk membantu gerakan kemerdekaan Afrika, dalam pertemuan dengan Kaunda, Mao Zedong mengambil keputusan tegas agar Tiongkok membantu membangun jalan kereta api Tanzania-Zambia yang terkenal di dunia. Setelah pulang ke negerinya, Kaunda dengan kata tersebut untuk melukiskan hubungan Tiongkok-Zambia.
Pada Maret tahun 1988, Kaunda sekali lagi mengunjungi Tiongkok, pada kesempatan itu, Deng Xiaoping mengatakan kepadanya, melukiskannya hubungan Tiongkok-Zambia sebagai sahabat segala cuaca merupakan suatu kesimpulan yang sangat bagus dan sangat sesuai dengan kenyataan.
Menyinggung masa depan Tiongkok, Kaunda dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa membangun sebuah negara sejumlah 1,3 miliyar jiwa mutlak bukan suatu hal yang gampang, namun yang untung ialah kebijakan Tiongkok dewasa ini sangat baik, asalnya dipertahankan, masa depan Tiongkok pasti lebih serah, dan Tiongkok pasti akan memberikan sumbangan lebih besar kepada dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar